Pagi
ini, Sabtu keempat di bulan November datang menyapa, mendakwa mendung lah yang
bertugas menyambut mentari. Mendung resmi memotong pita untuk hari ini. Selamat.
November
benar-benar menunjukkan keahliannya. Di hampir penghujung bulan ini, kebanyakan
hari-hari dihabiskan dengan hujan. Basah. Saya agak kerepotan sebenarnya, mengingat
jemuran dan jalanan yang lebih sering becek. Apalagi pada saat jalan ke kampus.
Tapi lain dari itu, tidak masalah. Saya bersedia berteman dengan November dan
hujan. Saling mengisi di antara gemuruh dan sunyi. Membuat memori yang nanti
akan saya beri label ‘Rahasia Si Hujan
Bulan Sebelas.’
Namun,
ada yang berbeda dengan pagi ini. Mendung datang dan saya merasa tidak senang
sama sekali. Bukan membenci, melainkan saya dibuat tidak baik-baik saja dengan
keberadaan mendung. Seperti ada awan gelap yang juga menggantung di hati saya.
Entah mengapa. Padahal, biasanya mendung bisa jadi penghibur yang hebat untuk
sebuah pagi hari. Moodbooster. Bukan
seperti ini. Ada apa dengan mendung?
Atau saya?
Pagi
tadi, saya mendapati akan ditemani
mendung menysuri jalan ke kampus. Kontan saya mencari-cari sesuatu yang
biasanya hadir dengan sendirinya. Tanpa perlu diundang, apalagi dicari. Hati yang berseri. Dan, baru lah saya tersadar,
kali ini ia tidak hadir. Tidak ada di mana-mana, sekalipun pada genangan yang
tenang. Sekalipun pada lengkungan ujung jalan. Ia absen tanpa kabar juga pesan.
Saya kehilangan, entah bagaimana saya merasa kehilangan diri saya sendiri. Ada
sebuah penyangkalan yang pada akhirnya menghasilkan pemaksaan yang gagal. Saya
memaksa hati untuk bahagia, dan itu tidak bekerja. Tidak membuat awan gelap itu
beranjak dari sana.
Benarkah mendung sedang terserang
virus kesedihan? Virus yang sering menjadikan seseorang
berubah pesakitan. Mematikan. Saya tidak sudi membayangkannya. Sungguh tidak
rela mendung saya jadi penular. Tapi, sayangnya, awan yang berarak pun tak
menyulap apa-apa. Tidak sekalipun untuk pagi yang cerah. Sebab, sudah ada yang
terluka.
Saya
kecewa. Pada mendung yang kali ini memilih menularkan kelam. Bukan sebuah
suguhan yag menenangkan. Saya kecewa. Pada hati yang Sabtu ini malah memilih
berkhianat. Bukannya bekerja sama seperti yang sudah-sudah. Saya jadi ingin
berkeluh kesah. Namun tidak yakin dengan alasannya. Belakangan memang saya
sedang bermuram durja, kangen keluarga yang jauh di sana. Ternyata hujan pun
tak mampu untuk mengurung sunyi bersama gemuruhnya. Ternyata mendung pun tak
mampu menghibur dengan gelungan awannya yang tenang. Saya harus pulang.
No comments:
Post a Comment