Monday 16 March 2015

Jalan yang Lebih Panjang

“Pak, kenapa kita tidak sampai-sampai?”

“Sebentar ya, nak. Sedikit lagi kita sampai.”

“Tapi... pasar sudah lewat, Pak. Bukannya kita pamit kepada Ibu untuk membeli makanan?”

Laki-laki itu menyeka peluh, lalu menatap bocah 8 tahun yang duduk di boncengan sepeda butut yang ia dorong. Ia tidak menaikinya, ban sepeda itu sudah bocor dari awal mereka berangkat. Tadi, saat ia pamit ingin pergi mencari makanan untuk keluarganya, anaknya paling bungsu merengek ingin ikut. Sebabnya ia membawa sepeda yang telah usang itu, takut-takut anaknya akan kelelahan. Siang ini terik, matahari seperti sedang berada tepat di atas kepala.

“Benar. Tapi tujuan kita tidak ke pasar.” Laki-laki berumur itu kembali melihat ke depan, memperhatikan jalanan berdebu yang dipenuhi batu dan lubang. Mencoba memilih jalan yang paling aman.

 
“Lho, terus kita mau ke mana, Pak? Kenapa tidak ke pasar saja?” Anak itu mengeluh, tujuannya adalah pasar. Keringat sudah mengalir-ngalir di lehernya, sambil mengipas-ngipas tangan ke wajahnya, ia menoleh ke belakang menyaksikan keramaian pasar yang semakin menjauh.

“Kamu sudah lelah?”

“Bapak tidak lelah?”

Laki-laki itu hanya tersenyum lemah mendapati raut lelah serta bingung anaknya, tidak menjawab apa-apa, setelah itu kembali mendorong sepedanya. Lelah? Entah sejak kapan kata itu telah kehilangan makna baginya.

Yah, mending tadi aku pergi main ke sungai saja sama si Mamat.” Sesalnya. Pantatnya sudah sakit karena boncengan sepeda yang rusak ditambah dengan guncangan dari lubang-lubang jalan. Saat tadi mendengar Bapaknya pamit, pikirnya Bapak akan ke pasar. Langsung saja ia meronta mau ikut, ingin melihat seperti apa pasar itu sebenarnya.

“Kenapa kita tidak ke pasar saja, Pak? Makanan di sana pasti enak-enak.” Diulangnya lagi pertanyaan itu, tidak puas dengan Bapaknya yang tidak menjawab. Diam-diam berharap Bapaknya mau berputar arah dan kembali ke pasar.

“Karena kita harus memilih jalan yang lebih panjang, nak...”

“Kenapa, Pak? Kenapa tidak yang dekat saja?”

Kembali disekanya keringat yang mengalir di pelipisnya yang semakin gelap dan keriput, sambil sesekali menyipitkan mata karena tidak tahan dengan panas yang semakin parah. Jalanan yang tadinya agak ramai setelah melewati pasar, kini sudah kembali sepi. Pemandangan kiri dan kanan telah tergantikan dengan pohon-pohon dan semak-semak seperti saat mereka baru berangkat tadi. Ditangkapnya sekilas mata anaknya yang mengerjap-ngerjap makin bingung.

“Karena jalan yang lebih panjang tidak akan pernah menjadi sia-sia, nak. Meski jalan yang ditempuh lebih jauh, waktu yang dihabiskan lebih lama, juga lebih melelahkan, hasilnya pasti akan sesuai dengan pengorbanan yang sudah kita lakukan. Tidak perlu khawatir. Dan, bukan berarti lebih cepat sampai adalah jalan yang lebih baik.”

“Maksudnya apa, toh, Pak?”

“Nanti kalau sudah besar kamu juga ngerti.”

Laki-laki itu tersenyum kalem mendapati anak bungsunya yang malah menggaruk-garuk kepala—entah karena bingung atau memang benar-benar gatal.

“Oh, maksudnya makanannya lebih enak ya, Pak?” Kini anak itu jadi lebih sumringah, dari tadi sudah lapar sebenarnya.

Bapak anak itu tidak langsung menjawab. Tepat setelah pertanyaan anaknya, sepeda reot dengan ban bocor yang didorongnya lebih dari dua jam tadi berhenti. Matanya yang telah senja mencoba mencari-cari sesuatu di balik semak-semak dan pepohonan di hadapannya. Melihat tingkah Bapaknya, bocah itu ikut celingak-celinguk, meski tidak paham untuk apa. Setelah beberapa saat, laki-laki itu berhenti mencari, lalu menghela napas, lega.

“Nah, kita sudah sampai. Itu rumah Paman Soleh di sana... Kemarin Bapak ketemu, katanya dia lagi panen singkong, lumayan banyak. Kalau mau, beberapa singkongnya boleh dibawa pulang.”

*****

(Pekanbaru, 16032015)

No comments:

Post a Comment