Untukmu,
pemilik rindu.
Apa
kabar hari-harimu? Apakah masih sibuk dan terlalu mengganggu? Asal kamu tahu, aku
masih menolak untuk mengerti masalahmu yang itu. Maaf. Dan, apa kamu masih belum
menganggapnya bukan sebuah masalah? Sudah, lupakan! Kamu tahu apa yang kamu
lakukan, aku masih seyakin dulu. Baiklah, aku tidak bisa menahan untuk tidak
menanyakannya. Bagaimana kabarmu? Apakah sudah berubah? Sejujurnya, aku tidak
berharap banyak. Aku tahu, kamu mampu mengatakan ‘baik-baik saja’ jika memang harus
mengatakannya, kamu hanya akan ‘pindah’ jika telah menemukan alasannya. Hanya saja,
ada perasaan yang menggerutuku jika hal ini tidak kusampaikan padamu. Tentang kita
dan masa lalu. Surat ini akan memberitahu.
Untukmu,
yang dirindu.
Kamu
tahu, waktu merupakan sahabat paling kejam? Di satu sisi dia setia menemenamiku
merajut penantian, tapi di sisi lain, diam-diam dia mengikis pertahananku
hingga jatuh berdebam, lalu karam. Yang akhirnya, jeraku tak mampu lagi
diredam. Jangan salah sangka, aku mengatakan ini bukan untuk menyalahkannya. Bukan
juga untuk mencari siapa yang salah. Pada dasarnya kita sama-sama tahu, pilihanlah
yang membuat kita satu sama lain terluka. Aku memilih melepaskan, sedang kamu
menawarkan kembali sebuah pertahanan. Kamu tahu, aku bisa. Aku tahu, saat itu
aku dan kamu mungkin akan lebih terluka. Dan kita tidak pernah menyangka,
menyerah mampu mengantarkan kita menemukan sebuah jalan. Yaitu jalan yang pada
awalnya kita tempuh bersama, namun ternyata
tidak membawa kita pada tujuan yang serupa. Aku dan kamu memiliki ujung jalan
yang terpisah. Aku tidak menganggapnya sebagai kesalahan, aku harap kamu juga
paham.